Publik
dikagetkan oleh kelahiran undang-undang (UU) nomor 22 tahun 2014 tentang
pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasalnya, UU itu mengubah sistem dari
pemilihan langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD.
Saya
kira opini publik yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat terkait dengan RUU
Pilkada adalah sangat menyayangkan dengan kemundurun sistem demokrasi di
Indonesia dikarenakan masyarakat tidak ikut serta lagi dalam pemilihan kepala
daerahnya. Namun disisi lain, RUU Pilkada juga dipilih atau disetujui oleh
sebagian dengan alasan bosan atau mungkin bisa dikatakan geram dengan pemilihan
yang baru-baru ini. dimana banyak sekali ditemukan kecurangan-kecurangan ketika
proses pemilihan berlangsung. Contohnya saja dipemilihan presiden yang baru
lewat ini, banyak terjadi penggelembungan suara misalnya di Papua dan beberapa
daerah lainnya.
Mereka
yang pro menyatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) merupakan pilihan tepat. Selain sebagai upaya kembali
mengamalkan pancasila secara utuh, khususnya sila ke-4, terutama untuk
menghindari konflik politik, baik vertikal maupun horizontal, yang kerap
terjadi dalam pilkada langsung oleh rakyat.
Sebaliknya,
pernyataan mereka yang kontra terkesan lebih tajam dan menikam. Mereka
menyatakan, pilkada melalui DPRD merupakan langkah mundur di era reformasi.
Mereka berpendapat demikian mungkin karena menganggap “reformasi” adalah
perubahan total dari sistem sebelumnya, padahal arti kata reformasi adalah
kembali ke format yang benar. Pernyataan tajam itu terutama menyangkut adanya
tudingan, bahwa dengan melalui DPRD, kepala daerah (gubernur, bupati dan
walikota) ke depan ditentukan oleh penguasa koalisi partai politik (parpol)
pemenang pemilu legislatif masing-masing daerah.
Terlepas
dari pro-kontra, kebiasaan para incumbent
(sedang menjabat saat ini pada periode masa jabatan pertama). Melakukan
aksi penggalangan dukungan kepada rakyat dengan beragam kegiatan di tengah
masyarakat yang kerap diistilahkan sebagai aksi pencitraan. Dengan terbitnya UU
22 / 2014 para incumbent akan
langsung tiarap: dengan kata lain, mereka akan menghentikan kegiatan pencitraan
di tengah publik, selanjutnya memokuskan perhatian, energi dan materi untuk
melakukan lobi-lobi politik kepada pimpinan parpol pemenang pemilu berikut
dengan mitra koalisinya.